Short Description
”Beberapa penelitian menunjukan bahwa jutaan anak kecil setiap tahun dipekerjakan untuk kegiatan-kegiatan asusila dan semacamnya
”Beberapa penelitian menunjukan bahwa jutaan anak kecil setiap tahun dipekerjakan untuk kegiatan-kegiatan asusila dan semacamnya. Banyak di antara mereka yang dipaksa, diculik, diberi iming-iming hadiah atau menjadi korban trafficking (penjualan anak-anak).” Dirasah ta'zizil huquqil Al-Athfal (Kajian pemeliharaan hak-hak anak), hal. 40.
Alangkah dalam makna ucapan Anas bin Malik ketika menggambarkan kasih sayang Rasulullah kepada anak-anak. Beliau mengatakan, Tidak pernah saya melihat seorang yang lebih cinta kepada keluarganya lebih dari Rasulullah.[1]
Setiap orang mungkin akan kagum menyaksikan sikap Rasulullah kepada anak-anak. Kekaguman ini akan bertambah ketika melihat besarnya tanggungjawab yang ada di pundak beliau dalam mengatur negara, memimpin pasukan, memberi putusan di antara manusia saat bernegosiasi dengan tamu negara, dan berinteraksi dengan shahabat-shahabatnya. Beliau juga yang mengatur urusan kaum muslimin, baik orang tua maupun anak-anak. Beliau menerima wahyu dari Rabb semesta alam dan menyampaikannya kepada siapa saja semampu beliau. Bahkan, beliau mengirimkan surat kepada para raja dan pemimpin dunia untuk diajak masuk Islam.
Dengan segenap tanggung jawab yang berat ini, beliau tetap memerhatikan anak-anak yang masih berusia belia. Hal ini tidak akan terjadi kecuali dari seorang nabi.
Kekaguman ini akan bertambah lagi ketika Anda tahu bahwa kasih sayang ini tumbuh di lingkungan yang tak memberikan hak untuk anak kecil. Bahkan lingkungan sekitarnya menganggap bahwa kasih sayang kepada anak kecil adalah satu bentuk kelemahan yang tak dapat diterima. Sampai-sampai seorang akan berbangga ketika dia tidak menyayangi anak-anaknya.
Suatu ketika Nabi Muhammd saw mencium Hasan bin Ali di sebelah Aqra' bin Habis. Melihat hal tersebut Aqra’ berkata, Sungguh saya memiliki sepuluh orang anak, tidak ada seorang pun yang pernah saya ciumi di antara mereka.” Rasulullah memandangnya kemudian bersabda
مَنْ لاَ يَرْحَمُ لاَ يُرْحَمُ
Siapa yang tidak menyayangi, dia tidak akan disayangi.”[2]
Aqra’ mengira bahwa tanda ketegasan dan kejantanan adalah bila hati telah mengeras dan membatu, hingga ia tidak menyayangi anak kecil dan menciumi anaknya. Namun, Rasulullah membantahnya dengan bantahan telak yang membuatnya tidak berkutik. Sebuah jawaban yang bukan hanya dikhususkan untuk dirinya, akan tetapi menjadi kaidah prinsip dalam Islam, yaitu sebuah kalimat yang singkat, Siapa yang tidak menyayangi, dia tidak akan disayangi.”
Rasulullah sendiri tidak tahan mendengar tangisan dan rengekan anak kecil. Abu Qatadah meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah shalat sambil menggendong Umamah binti Zainab binti Rasulullah. Ketika hendak sujud, beliau meletakkan Umamah, ketika berdiri beliau mengambilnya kembali.[3]
Rasulullah sedang melaksanakan shalat, tapi beliau tetap tidak tahan dengan tangisan Umamah, cucunya. Beliau menggendongnya walaupun ketika itu sedang shalat.
Kasih sayang ini telah membuatnya memanjangkan atau meringkaskan shalatnya hingga anak kecil bisa tetap bergembira. Kita dapat melihat kisah beliau yang menakjubkan ketika shalat berjama'ah. Dalam satu kesempatan, beliau sengaja memanjangkan sujud agar tidak mengganggu anak-anak.
Diriwayatkan dari Syaddad bin Al-Had, Suatu ketika Rasulullah keluar melaksanakan shalat Isya sambil menggendong Hasan atau Husain. Rasulullah maju dan meletakkan keduanya, kemudian bertakbir untuk shalat. Rasulullah saw memanjangkan sujudnya di salah satu sujudnya. Ayahku berkata, ‘Aku angkat kepalaku dan ternyata sang anak kecil sedang berada di punggung Rasulullah ketika beliau sujud. Aku pun kembali sujud. Seusai shalat, orang-orang berkata, ‘Wahai Rasulullah, Anda sujud lama sekali sehingga kami mengira terjadi sesuatu atau sedang turun wahyu kepadamu.’ Beliau menjawab
كُلُّ ذَلِكَ لَمْ يَكُنْ وَلَكِنَّ ابْنِي ارْتَحَلَنِي فَكَرِهْتُ أَنْ أُعَجِّلَهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ
‘Semua itu tidak terjadi. Hanya saja putraku menaiki punggungku. Aku tidak ingin mengganggunya sampai ia puas melakukannya’.[4]
Hal yang sebaliknya pernah pula dilakukan oleh Rasulullah saw yang membuktikan besarnya rasa kasih sayang beliau.
Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda
إِنِّى لَأَدْخُلُ فِى الصَّلاَةِ وَأَنَا أُرِيْدُ إِطَالَتَهَا ، فَأَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِىِّ ، فَأَتَجَوَّزُ فِى صَلاَتِى مِمَّا أَعْلَمُ مِنْ شِدَّةِ وَجْدِ أُمِّهِ مِنْ بُكَائِهِ
Sungguh ketika aku telah mulai melaksanakan shalat, sedangkan aku ingin memanjangkannya. Namun aku kemudian mendengar tangisan anak kecil, maka saya pun mempercepat shalat karena saya tahu perasaan sedih ibunya disebabkan tangisan itu.[5]
Demikianlah Rasulullah mengondisikan shalatnya sebagai bentuk kasih sayang kepada anak kecil dan ibunya.
Dalam sirah (kisah perjalanan hidup) beliau yang lain, kita dapati ternyata Rasulullah sempat meluangkan waktunya untuk bermain dengan anak-anak. Usamah bin Zaid bercerita, Rasulullah pernah mendudukkan aku di satu pahanya dan mendudukan Hasan di paha yang satunya. Kemudian beliau merangkul kami berdua sambil berdoa
اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمَا فَإِنِّي أَرْحَمُهُمَا
Ya Allah cintailah keduanya, sungguh aku mencintai mereka berdua.[6]
Lihatlah juga bagaimana Rasulullah menghibur seorang anak yang bersedih karena burungnya mati. Anas bin Malik meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah saw mengunjungi Ummu Sulaim. Ummu Sulaim mempunyai seorang anak dari Abu Thalhah, yang biasa dipanggil Abu Umair. Rasulullah senang bermain dengan anak ini. Suatu ketika beliau melihatnya sedang bersedih. Kenapa Abu Umair bersedih tanya Rasulullah. Orang-orang di sekitarnya menjawab, Burungnya, teman bermainnya, mati. Rasulullah lalu bersabda kepadanya, Abu Umair, ada apa dengan burung kecilmu[7]
Beliau tidak hanya peduli dengan perasaannya, tapi juga turut berduka dan berusaha untuk menghiburnya. Padahal anak ini adalah anak seorang pembantu Rasulullah. Dari sini kita bisa melihat betapa tinggi kasih sayang dan ketawadhuan yang ada dalam hati Rasulullah saw.
Rasulullah juga memberikan perhatian khusus kepada pendidikan anak perempuan. Beliau mengetahui bahwa kebanyakan orang—terutama di lingkungan Arab—lebih menyukai anak laki-laki. Rasulullah memberi janji pahala yang sangat besar bagi yang mendidik anak perempuan.
Rasulullah bersabda
مَنْ عَالَ جَارِيَتَيْنِ حَتَّى تَبْلُغَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَا وَهُوَ (وَضَمَّ أَصَابِعَهُ)
Siapa yang memelihara dua orang anak perempuan sampai mereka balig, maka di hari kiamat nanti aku dan dia seperti ini (beliau lalu merapatkan jari jemarinya).[8]
Rasulullah tidak mau membebani anak-anak dengan sesuatu yang berada di luar kemampuan mereka. Contoh kasih sayang ini terjadi pada perang Uhud. Saat itu beberapa orang anak meminta izin kepada Rasulullah untuk ikut perang. Namun, Rasulullah menolaknya karena usia mereka yang masih belia. Di antara anak-anak itu adalah Abdullah bin Umar bin Khathab, Usamah bin Zaid, Usaid bin Dhahir, Zaid bin Tsabit, Zaid bin Arqam, Arabah bin Aus, Amru bin Hazm, Abu Sa'id Al-Khudri, Sa'ad bin Habbah, dan lainnya.
Bandingkan dengan jumlah anak-anak yang saat ini dimanfaatkan untuk kepentingan perang di berbagai belahan dunia. Menurut laporan kondisi sosial PBB (Taqrirul Halatil Ijtimaiyah Ash-Shadir Anil Umamil Muttahidah tahun 2005, hal 121), lebih dari 300.000 anak di dua puluh negara dipersenjatai dengan paksa untuk berlatih perang.
Perhatian Rasulullah kepada anak-anak ini bukan hanya sekali dua kali, tapi berkali-kali. Sampai-sampai anak-anak selalu menyambut kedatangan beliau untuk diajak bercanda dan bermain. Seakan-akan beliau tidak punya pekerjaan selain bermain-main dengan mereka.
Abdullah bin Ja'far meriwayatkan, Apabila Rasulullah kembali dari perjalanan, beliau disambut oleh anak-anak dari ahli baitnya. Suatu ketika beliau pulang dan akulah yang paling awal menyambut beliau. Aku langsung dinaikkan di depan beliau, kemudian datang seorang anak Fathimah yang segera dibonceng di belakang beliau. Kami bertiga pun masuk Madinah di atas kendaraan tunggangan beliau.[9]
Renungkanlah peristiwa ini! Bayangkanlah pemandangan ini! Seorang pemimpin negara masuk kota sambil memangku seorang anak, sementara yang satunya dibonceng dibelakangnya. Kondisi genting dan mencekam dalam sebuah pertempuran sekalipun tidak menghalangi beliau untuk menunjukkan rasa sayang kepada anak-anak, bahkan beliau sempat menggendong mereka. Abdullah bin Abbas bercerita, Ketika Fathu Makkah beliau disambut oleh anak-anak dari Bani Abdil Muthalib. Seorang anak beliau gendong, sementara yang lainnya naik ke punggung beliau.[10]
Kalau kasih sayang beliau kepada anak-anak secara umum sedemikian besar, bagaimana lagi kasih sayang beliau kepada anak yatim Tentu lebih besar lagi. Dalam salah satu hadits, Rasulullah memotivasi orang-orang untuk memerhatikan anak yatim
أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيْمِ فِى الْجَنَّةِ كَهَاتَيْنِ
Aku dan orang yang mengasuh anak yatim seperti ini (Sambil memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengahnya).”[11]
Dalam riwayat lain disebutkan
مَنْ ضَمَّ يَتِيْمًا بَيْنَ أَبَوَيْنِ مُسْلِمَيْنِ إِلَى طَعَامِهِ وَشَرَابِهِ حَتَّى يَسْتَغْنِيَ عَنْهُ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ الْبَتَّةَ.
Barangsiapa mengasuh seorang anak yatim dengan mencukupi makan dan minumnya sehingga ia merasa cukup, ia pasti akan mendapatkan surga.[12]
Rasulullah pernah bersabda kepada seorang laki-laki yang menemui beliau dan mengadukan perihal hatinya yang keras
أَتُحِبُ أنْ يَلِيْنَ قَلْبُكَ وتُدْرِكَ حَاجَاتِكَ؟ ارْحَمِ الْيَتِيْمَ، وامْسَحْ رَأسَه، وأَطْعِمْه مِنْ طَعَامِكَ يَلِنْ قَلْبُكَ، وتُدْرِكَ حَاجَاتِكَ.
Apakah engkau menginginkan agar hatimu lunak dan keinginanmu terkabul Hendaknya kamu mengasihi anak yatim dan belailah kepalanya. Berilah ia makanan sebagaimana yang engkau makan, niscaya hatimu akan lunak dan kamu bisa meraih keinginanmu.[13]
Rasulullah juga selalu mengingatkan para shahabat agar jangan sampai berbuat tidak adil dan menzalimi anak yatim. Atau memanfaatkan kelemahan mereka serta memakan harta mereka. Beliau bersabda
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيْمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ.
”Jauhilah tujuh perkara yang akan membinasakan kalian; para shahabat bertanya, apakah tujuh hal tersebut wahai Rasulullah Beliau bersabda, ‘Syirik atau menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang telah Allah haramkan darahnya kecuali karena alasan yang dibenarkan, memakan harta riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri dari medan tempur, menuduh muslimah yang lalai berbuat zina’.[14]
Rasulullah memikirkan masa depan anak yatim. Beliau khawatir hartanya akan berkurang dengan adanya kewajiban zakat atau berkurang nilainya karena adanya inflasi dalam waktu yang cukup lama. Dalam hal ini beliau bersabda dalam konteks sebuah bentuk kasih sayang hakiki
أَلاَ مَنْ وَلِيَ يَتِيْمًا لَهُ مَالٌ، فَليتَّجِرْ فِيْهِ، ولاَ يَتْرُكْهُ حَتىَّ تَأكُلَهُ الصَّدَقَةُ.
Wahai mereka yang mengasuh anak yatim, sedang ia memiliki harta. Hendaklah mereka memperdagangkannya, jangan sampai ia biarkan hingga termakan zakat.[15]
Semua kisah ini menjadi gambaran sekilas tentang kasih sayang Rasul kepada anak-anak. Bagi yang ingin memperdalam masalah ini, silakan merujuk kitab-kitab hadits yang shahih karena meringkas hal ini sangat sulit…
[1] HR Muslim (2316), Ahmad (12123), Ibnu Hibban (6950), Abu Ya'la (4192), dan Baihaqi (11011).
[2] HR Bukhari V2235, Muslim IV1809, Abu Dawud II777, Tirmidzi IV318, dan Ahmad II228.
[3] HR Bukhari (494), Muslim (543), Abu Dawud (917), Ahmad (22577), Malik (410), dan Ad-Darimi (1359).
[4] HR Nasa'i II579 (1141), Ahmad III493 (27688), Hakim (4775), Ibnu Khuzaimah (936), dan Ibnu Hibban (2805). Al-Albani menjadikannya sebagai dalil bolehnya memanjangkan sujud. Lihat Sifat Shalat Nabi hal. 148.
[5] HR Bukhari I250, Ibnu Majah I216, Ibnu Khuzaimah III50, Ibnu Hibban V509, Abu Ya'la V441, dan Baihaqi II32.
[6] HR Bukhari V2236, Ahmad V205, Ibnu Hibban (6961), dan Nasa'i (8184).
[7] HR Ahmad III188.
[8] HR Muslim IV2027, Tirmidzi IV319, dan Hakim IV196.
[9] Muslim VII132.
[10] HR Bukhari II637, Abu Dawud I597, Nasa'i V299, Ibnu Majah II1007, Ahmad I234, dan Ibnu Hibban IX181.
[11] Bukhari V2023, Abu Dawud II760, Tirmidzi IV321, Ahmad V333.
[12] HR Ahmad (19047), Bukhari dalam Adabul Mufrad (78), Thabrani (670), Abu Ya'la (926). Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahîh At-Targhîb II676.
[13] HR Thabrani dihasankanoleh Al-Albani dalam Shahîh At-Targhîb II676.
[14] Bukhari (2615), Muslim (89), Abu Dawud (2874).
[15] Tirmidzi III32 (641), Malik (329), Baihaqi (10764).