Short Description
Atas besarnya kasih sayang di dalam pribadi Rasulullah, beliau juga mengkhawatirkan kondisi pasukannya dari kelelahan yang sangat
Atas besarnya kasih sayang di dalam pribadi Rasulullah, beliau juga mengkhawatirkan kondisi pasukannya dari kelelahan yang sangat. Hal ini sebagaimana yang beliau lakukan pada saat fathu Makkah yang terjadi pada bulan Ramadhan. Saat itu Rasulullah saw dan orang-orang beriman sedang puasa. Ketika selesai shalat ashar, beliau mendengar bahwa orang-orang merasakan kepenatan karena puasa. Apa yang dilakukan oleh Rasulullah
Jabir bin Abdullah bercerita, ”Rasulullah keluar pada saat fathu Mekah ke Mekah pada bulan Ramadhan. Beliau dan kaum muslimin berpuasa. Ketika tiba di Kura’ Al-Ghamim, beliau meminta segelas air dan mengangkatnya hingga semua orang melihatnya. Kemudian beliau minum. Ada yang berkata kepada beliau setelah itu, ’Di antara orang-orang masih ada yang puasa.’ Beliau berkata, ’Mereka adalah orang yang bermaksiat, mereka adalah orang yang bermaksiat.’[1]
Alangkah besarnya kasih sayang beliau!
Beliau tidak ingin memberikan izin kepada orang-orang untuk berbuka sementara beliau sendiri masih puasa. Hal ini agar tidak menimbulkan beban kesusahan di hati mereka. Beliau sendiri akhirnya yang pertama-tama membatalkan puasa dan berbuka dengan air, agar menjadi contoh bagi mereka. Sebagian besar tentara turut berbuka. Namun ada sekelompok orang yang ingin tetap berpuasa. Ketika beliau mendengar hal ini, beliau berkata, Mereka adalah orang yang bermaksiat.
Beliau menyatakan hal ini karena mereka tidak menyayangi diri sendiri dan tidak mengikuti yang menjadi pemimpin mereka dalam hal ini. Atau paling tidak beliau merasa susah karena berbuka di hadapan orang yang berpuasa. Kasih sayang beliau ini berlaku kepada seluruh tentara. Beliau ingin memberikan mereka ketenangan dengan tidak mengumpulkan antara lelahnya berpuasa dan lelahnya berjihad.
Anda sudah tahu, bahwa semua itu dilakukannya setelah shalat ashar. Maka Anda dapat melihat sejauh mana kasih sayang beliau yang tidak mau membiarkan mereka untuk menunggu waktu yang tersisa ini. Semua itu karena rasa sayang beliau terhadap umatnya.
Beliau memperhatikan korban terluka dari pasukannya dan berusaha mengobati mereka bila mampu. Ketika Saad bin Muadz terkena panah di bagian lengannya, beliau berusaha mengobatinya dengan besi panas (agar darahnya tidak mengucur), tapi kemudian membengkak, sehingga beliau obati untuk kedua kalinya.
Ketika korban luka-luka sudah banyak berjatuhan sementara Rasulullah tidak mampu berbuat sesuatu, beliau menyerahkan pengobatannya kepada Rufaidah yang terkenal pandai dalam pengobatan. Beliau memberikan sebuah tempat di masjid dan beliau biasa mengunjunginya.[2]
Beliau sedih apabila di antara para shahabatnya ada yang mendapatkan luka atau gugur. Beliau menangisi mereka walapun mereka adalah para syuhada dan beliau sendiri adalah seorang kepala negara. Orang-orang menjadi terkesan dengan tangisan ini.
Anas bin Malik meriwayatkan bahwa beliau telah memberitahukan kabar kematian Zaid, Ja’far, dan Ibnu Rawahah sebelum datangnya berita tentang mereka. Beliau bersabda
أَخَذَ الرَّايَةَ زَيْدٌ فَأُصِيْبَ، ثُمَّ أَخَذَهَا جَعْفَرٌ فَأُصِيْبَ، ثُمَّ أَخَذَهَا عَبْدُ اللهِ بْنُ رَوَاحَةَ فَأُصِيْبَ، وَإِنَّ عَيْنَيْ رَسُوْلِ اللهِ r لَتَذْرِفَانِ، ثُمَّ أَخَذَهَا خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ مِنْ غَيْرِ إِمْرَةٍ فَفُتِحَ لَهُ.
”Zaid yang membawa bendera pasukan telah gugur, kemudian Ja’far mengambil dan dia pun gugur, kemudian Abdullah bin Rawahah mengambilnya dan dia pun gugur. Air mata Rasulullah bercucuran. Kemudian bendera pasukan diambil oleh Khalid bin Walid tanpa perintah hingga akhirnya diberikan kemenangan melaui dia.”[3]
Beliau juga berusaha memberikan ketenangan jiwa kepada para pasukan. Beliau memberikan ketenangan kepada keluarga mereka saat pasukan menuju medan perang. Beliau mendidik dan mengajar umatnya untuk memperhatikan keluarga yang ditinggal berjuang di jalan Allah. Rasulullah bersabda
مَنْ جَهَّزَ غَازِيًا فِي سَبِيلِ اللهِ فَقَدْ غَزَا، وَمَنْ خَلَفَهُ فِي أَهْلِهِ بِخَيْرٍ فَقَدْ غَزَا
Siapa yang menyiapkan perlengkapan orang yang berjihad di jalan Allah maka ia telah berjihad dan barang siapa yang menjaga keluarganya dengan baik maka ia telah berjihad.”[4]
Beliau sendiri yang menanggung urusan keluarga para syuhada dan mujahid. Hal ini agar orang-orang yang pergi berjihad merasa bahwa bila mereka gugur kelak, akan ada orang yang memerhatikan dan memelihara keluarganya. Anas bercerita bahwa ketika Nabi saw berada di Madinah, beliau tidak masuk rumah selain rumah istri-istrinya, kecuali rumah Ummu Sulaim. Ketika ditanyakan kepada beliau, beliau menjawab, Saya sayang kepadanya karena seorang saudaranya terbunuh bersamaku.”[5]
Rasulullah juga masuk ke rumah Ummu Sulaim karena ia adalah bibi beliau, baik karena susuannya atau karena nasab. Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Namun kedua-duanya merupakan penyebab bolehnya berkhalwat dengannya.[6]
Demikianlah kasih sayang Rasulullah meliputi para pejuang dan keluarganya sehingga sangat berpengaruh dalam meringankan beban perjuangan.
Saya ingin mengakhiri pembahasan ini dengan sebuah kisah yang luar biasa dan menunjukkan kasih sayang yang amat langka di dunia ini, yaitu kasih sayang Rasulullah kepada orang-orang yang melarikan diri dari perjuangan.
Sebagaimana sudah diketahui bahwa lari dari medan pertempuran termasuk dosa besar. Rasulullah bahkan dengan jelas menyebutkan, ”Hindarilah tujuh hal yang membinasakan...” dan di antara tujuh hal tersebut adalah lari dari medan perang.[7]
Walaupun demikian, beliau membedakan antara orang yang biasa lari dari medan perang dan orang yang kebetulan melakukan hal ini dan diperkiraan tidak akan terulang lagi. Untuk kelompok yang kedua ini beliau berlaku sayang dan lembut kepada mereka dan tidak melihat sisi negatifnya.
Pernah terjadi beberapa orang dari kaum muslimin melarikan diri pada perang Uhud. Tidak disebutkan dalam kitab-kitab sunnah atau sirah adanya celaan dari nabi untuk mereka. Bahkan beliau mendorong dan menyemangati mereka untuk keluar pada hari kedua setelah perang Uhud guna mengusir orang-orang musyrik. Beliau tidak memperbolehkan selain pasukan Uhud untuk ikut bersamanya.
Inilah yang menjadi tanda bahwa beliau percaya kepada mereka dan mengetahui bahwa apa yang terjadi kemarin di Uhud adalah sebuah kelalaian dan kesalahan yang takkan berulang. Oleh karena itu, beliau menyuruh seseorang untuk mengumumkan bahwa tidak ada yang boleh ikut bersama kami kecuali yang hadir pada pertempuran kemarin.[8]
Demikian pula pada perang Mu’tah. Pasukan kaum muslimin yang berada di bawah komando Khalid bin Walid mengundurkan diri, sebab kekuatan mereka sama sekali tidak seimbang. Bala tentara Romawi berjumlah enam puluh kali lipat dibandingkan jumlah pasukan kaum muslimin.
Abdullah bin Umar meriwayatkan mengenai kondisi saat mereka mundur itu dan bagaimana reaksi penduduk Madinah dan sikap Rasulullah saw. Ia berkata, ”Kami diutus oleh Rasulullah dalam sebuah pasukan. Pasukan pada saat itu mundur dan berlari. Aku termasuk orang yang berlari itu. Kami berkata, ’Apa yang dapat kami lakukan Kami telah lari dari peperangan dan ditimpa kemarahan.’ Kemudian kami berkata, ’Bagaimana kalau kita kembali ke Madinah dan bermalam disana.’ Kami berkata, ’Bagaimana bila kita menyerahkan diri kepada Rasulullah. Alangkah baiknya apabila masih ada kesempatan untuk bertobat, kalau tidak ada lagi kita pergi.’ Kami pun mendatangi beliau sebelum shalat shubuh. Beliau berkata, ’Siapa ini’ Kami menjawab, ’Kami adalah orang-orang yang melarikan diri.’ Beliau menjawab
لاَ بَلْ أَنْتُمُ الْعَكَّارُوْنَ، وَأَنَا فِئَتُكُمْ.
’Tidak, kalian adalah pasukan yang akan kembali berperang lagi dan aku adalah bagian dari pasukan kalian’.”[9]
Rasulullah memahami kondisi mereka, memaafkan, dan merasa sayang kepada mereka. Bahkan tidak cukup dengan itu, beliau juga memuji mereka.
Adakah sejarah pernah melihat kasih sayang sebesar ini Apakah ada seorang panglima yang membangkitkan semangat anak buahnya—walaupun mereka kalah perang dan lari dari medan laga—seperti yang dilakukan oleh Rasulullah
Sungguh benar apa yang difirmankan oleh Rabb kita
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam. (Al-Anbiyâ’ 107).
[1] HR Muslim (1114), Tirmidzi (710), Nasa'i (2263).
[2] Usudul Ghabah, 2239.
[3] HR Bukhari (4014), Nasa’i (1878), Ahmad (1750), dan Thabrani (1460).
[4] HR Bukhari (2688), Muslim (1895), Tirmidzi (1628), Abu Daud (2509), Nasa’i (2180), Ibnu Majah (2759), Ahmad (17080), Darimi (2419), Ibnu Hibban (4630).
[5] HR Bukhari (2679) dan Muslim (2455).
[6] Syarh Shahîh Muslim, 1016.
[7] HR Bukhari (2615), Muslim (89), Abu Daud (2874), Nasa’i (3671), dan Ibnu Hibban (5561).
[8] Uyûnul Atsâr II57, Sirah Ibnu Hisyam IV52.
[9] Abu Daud (2647), Tirmidzi (1716), Ahmad (5384), dan Abu Ya’la (5781). Al-Albani menyatakan hadits ini dhaif dalam Dhaif Sunan Tirmidzi IV215.